Penulis: Siti Suryani
Pada Rabu, tanggal 27 Juni 2018 dilaksanakan pilkada serentak. Sudah sejak tahun 2005 sistem pilkada kita menggunakan sistem pemilihan langsung (pemilu) yaitu kepala daerah dipilih oleh rakyat melalui pilkada. Perubahan sistem pemilihan wakil rakyat adalah wujud dari ketidakpercayaan masyarakat terhadap wakil rakyat dan merupakan tuntutan masyarakat untuk ruang demokrasi yang lebih luas.
Pilkada serentak pada 27 Juni 2018 salah satunya di Jawa Tengah yang menyelenggarakan pemilihan gubernur dengan 2 calon yaitu pasangan nomor 1 ganjar-yasin dengan pasangan nomor 2 sudirman-ida . Namun, tidak semua daerah melaksanakan pilkada. Seperti Jakarta yang beberapa bulan lalu telah melaksanakan pemilihan gubernur lebih dulu.
Meskipun tidak semua daerah menyelenggarakan pilkada, namun beberapa hari sebelum hari pemilihan, diumumkan oleh pemerintah bahwa Hari Rabu, 27 Juni 2018 adalah Hari libur nasional. Tentu saja pengumuman tersebut disambut dengan riang gembira oleh pegawai dan karyawan. Terlebih mereka yang tidak ada pencoblosan di daerahnya. Meskipun begitu, banyak juga perusahaan yang tidak meliburkan karyawannya. Termasuk juga di daerah yang melangsungkan Pilkada Serentak.
Pada kenyataannya di Jawa Tengah, terutama di Jepara masih banyak karyawan yang masuk kerja pada hari pencoblosan. Para karyawan yang tidak libur memilih mencoblos pagi-pagi agar bisa ikut memberi suara dan tidak terlambat masuk kerja. Mereka datang ke TPS lebih awal, bahkan ada yang datang sebelum TPS buka. Namun tidak sedikit juga karyawan yang akhirnya tidak ikut mencoblos karena alasan masuk kerja tersebut. Karena TPS buka jam 7 pagi, dan mulai pemungutan suara sekitar jam setengah 8 pagi.
Karyawan di Jepara didominasi oleh para pemuda, banyak dari mereka yang menjadi buruh di gudang, karyawan swasta, dan lainnya. Para pemuda Jepara juga banyak yang merantau bekerja dan kuliah. Potensi pemuda dalam pilkada terkonstruksi kedalam dua kelompok. Kelompok yang pro terhadap partisipasi untuk menggunakan hak pilihnya dalam pilkada, serta kelompok yang tidak peduli terhadap pilkada sehingga cenderung menolak untuk menggunakan hak pilihnya.
Menurut kelompok pemuda yang pro pilkada, mencoblos adalah salah satu bentuk suara paling efektif, mereka menganggap bahwa memilih itu lebih baik daripada tidak memilih karena dianggap tidak bisa ikut andil dalam pembuatan keputusan dan kebijakan. Sedangkan kelompok pemuda yang tidak peduli dengan pilkada menganggap aktifitasnya lebih penting daripada untuk memilih atau mencoblos pada saat pemilu, sehingga mereka cenderung golput, atau tidak menggunakan hak pilihnya.
Pada kasus pilkada serentak 27 Juni 2018 di Jepara, TPS mulai ramai sekitar jam 9 pagi. Yang ramai datang adalah ibu-ibu, bapak-bapak, dan simbah-simbah. Jarang dijumpai anak muda yang datang ke TPS, hanya terlihat satu dua saja anak muda yang datang sendiri dan terlihat buru-buru pulang. Jarang anak muda yang datang beramai-ramai ikut mencoblos. Dari sini terlihat justru orang tua lebih antusias untuk ikut berpartisipasi dalam pilkada dibandingkan dengan anak mudanya.
Jika melihat data pilkada serentak 2018 yang digelar pada 27 juni di 171 daerah pemilihan yang terdiri dari 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten dengan jumlah Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilihan (DP4) sebesar 160.756.143 pemilih. Di Jateng DP4 berjumlah 27.088.692 pemilih, dengan potensi 12 persen tidak berada dirumah atau kuliah saat pemilihan. Penduduk tersebut berusia 17-25 tahun. Jumlahnya mencapai 3.184.431 pemilih. Sedangkan untuk penduduk Jateng yang berusia 30-60 tahun yang bekerja diluar rumah atau merantau saat pemilihan mencapai 58 persen atau berjumlah 15.731.599 pemilih. Suara pemuda tentu saja sangat berpengaruh terhadap pilkada.
Menurunnya jumlah partisipasi para muda mudi salah satunya karena faktor mereka yang merantau. Banyak anak muda yang merantau untuk kuliah, maupun bekerja. Meskipun libur, namun tidak banyak mereka yang pulang / di rumah saat pemilu berlangsung. Lebih banyak yang menikmati waktu libur pemilu diperantauan.
Namun, tentu saja masih banyak muda mudi yang tidak merantau. Bisa dilihat jika ada event-event hiburan (orkes, dll) di Jepara, selalu penuh dengan muda mudi. Sedangkan, saat pemilu TPS sepi. Potensi pemilih muda masih besar jumlahnya. Namun,meski begitu pada kenyataannya jumlah pemuda yang memberikan suaranya dalam pemilihan semakin tahun dirasa semakin menurun.
Di jaman yang serba gadget, internet, dan begitu cepatnya arus informasi. Tentu saja tidak mungkin jika para muda mudi kampung tidak mengetahui prihal pilkada. Berbeda dengan orang-orang tua yang justru tidak mengenal gadget, sumber informasi mengenai pilkada terbatas, namun orang tua justru lebih semangat dalam mengikuti pencoblosan.
Menurut kelompok pemuda yang tidak menggunakan hak pilihnya, hal tersebut dikarenakan mereka tidak mau tahu tentang calonnya, tidak peduli dan sibuk dengan urusan lainnya yang dianggap lebih penting. Penyebab lainnya disebabkan karena tidak adanya pasangan calon yang sesuai dan hilannya kepercayaan mereka terhadap pemerintah. Selama ini pemberitaan di media massa mengenai pemerintah selalu tentang keburukannya, seperti kasus korupsi yang sering menjerat para kepala daerah. Arus informasi yang terus digulirkan oleh para pasangan calon dan pendukung calon yang seringkali menjelek-jelekan pasangan calon lainnya juga mengakibarkan para anak muda tidak lagi simpati terhadap pemilihan.
Upaya melibatkan anak muda untuk mau ikut memberikan suaranya saat pemilihan tentu saja sudah bisa dilihat saat pilkada serentak 27 juni 2018. Banyak anak muda yang dilibatkan dalam panitia, maupun relawan saat pemilihan. TPS-TPS didesain sedemikian rupa, kampanye tidak golput juga dilakukan dengan berbagai cara yang kreatif. Namun, rasanya belum mampu merasuk kedalam diri anak muda untuk berpartisipasi dalam pemilihan. Justru anak muda banyak yang lebih bersemangat menyambut libur pemilu, tapi lesu datang ke TPS untuk mencoblos.